BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia,Pancasila:
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah
agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Demi mengemban tugas untuk menangani kepentingan
agama-agama dibentuklah Departemen Agama.
Begitupun Islam dan Indonesia tidak bisa dilepaskan
dalam kaitannya mencapai sebuah kemerdekaan. Adalah peran ulama berkontribusi
besar untuk merainya. Sebagai kekuatan yang dapat memobilisai masa dalam sebuah
kekuatan. Maka perlu adanya suatu Majelis, wadah bagi Ulama untuk mengatur
kehidupan masyarakat Islam di Indonesia (MUI).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana berdirinya Departemen Agama dan Majelis
Ulama Indonesia?
2. Apa saja peran dari Departemen Agama dan Majelis Ulama
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya
·
Departemen Agama
Pada masa
penjajahan, dalam memperjuangkan kemerdekaannya Indonesia sangat didasari dan
dijiwai oleh semangat menegakkan ajaran agama. Selain itu, sejak bangsa
Indonesia memiliki pemerintahan, dalam penyelenggaraannya selalu mengedepankan
pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama bagi seluruh rakyatnya.
Pada zaman
pemerintahan kolinialisme Belanda, urusan agama hanya difokuskan pada
Departemen pengajaran. Agama semata-mata diarahkan pada sesuatu yang mahdhoh,
jalan menuju arah ketata negaraan ditutup. Berbeda dengan pada zaman
pemerintahan Jepang, para Alim Ulama diberi hati, karena mereka membutuhkannya
sebagai alat untuk menguatkan kedudukannya. Jepang mengadakan Departemen
Pengajaran dengan berkantor di jalan Cilacap 4 Jakarta dengan Urusan Agama yang
diboncengkan kepadanya. Sejak 1 April 1944 ditiap daerah Karesidenan didirikan
Kantor Agama (Sjuumuka). Para pimpinannya diambil dari ulama yang berpengaruh.
Diderah
Karesidenan Banyumas juga didirikan Sjuumuka (Kantor Agama) yang diberi tugas
untuk membuat rencana pekerjaan Urusan Agama. Setiap rencana yang telah
dilaksanakan harus dibuatkan laporan ke Jakarta dan keturunannya supaya dikirim
ke Kantor Agama Karesidenan seluruh Jawa dan Madura.
Pengajaran Agama-pun berlangsung, tak lama kemudian diikuti oleh Daerah
Karesidenan Kediri dan Pekalongan.
Setelah memalui
perjalananan panjang, dalam Penetapan Pemerintah Tahun 1946 Nomor 1/SD yang
dikeluarkan pada tanggal 3 Januari 1946, yang merupakan dasar hukum berdirinya Departemen
Agama.[1] Adalah usulan dari K.H.Abu Dardiri asal Banyumas Jawa Tengah yang melatarbelakangi pendirian Departemen Agama. Departemen
Agama adalah sebuah lembaga Negara yang memiliki peran dan fungsi pelayanan dan
bimbingan di bidang agama. Dilatarbelakangi oleh kondisi bangsa Indonesia
yang religius. Hal tersebut tercermin baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun
dalam kehidupan bernegara.
Adapun
Tokoh-tokoh lain yang memiliki andil bagi kelahiran Departemen Agama adalah
K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Mas Mansur, K.H. Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim,
Ki Bagus Hadi Kusumo, dan Abikusno Cokrosuyoso. Selain itu terdapat para utusan
delegasi KNI Banyumas yang dipimpin oleh K.H. Abudardiri dengan anggotanya M.
Sukoso Wiryosaputro dan kawan-kawan lainnya serta M. Saleh Suaidi sebagai juru
bicara, yang menyampaikan usul berdirinya Departemen Agama dalam sidang pleno
KNIP tanggal 26 November 1945 di Jakarta.[2]
Kementerian
Agama mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa
kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri, yang berkenaan dengan masalah
perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji; dari Kementerian
Kehakiman, yang berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi; dari
Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, yang berkenaan dengan
masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah.
1.
KH. Wahid Hasyim
2.
H. Rasjidi
3.
KH. Fathurrahman Kafrawi
4.
K. Achmad Asj’ari
5.
H. Anwaruddin
6.
KH. Masjkur
7.
T. M. Hasan
8.
KH. Fakih Usman
9.
KH. Muhammad Ilyas
10. KH. M. Wahib Wahab
11. KH. Saifuddin Zuhri
12. KH Moh Dahlan
13. Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
14. Alamsyah Ratu Perwiranegara
15. H. Munawir Sjadzali MA
16. Dr. Tarmizi Taher
17. Prof. Dr. Quraish Shihab
18. Prof. M. Malik Fajar M.Sc
19. Drs. KH. M. Tolchah Hasan
20. Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawwar
21. Muhammad Maftuh Basyuni SH
22. Drs. H. Suryadarma Ali
23. Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin
·
Majelis Ulama Indonesia
Majelis
Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zu’ama
dan cendekiawan muslim Indonesia untuk
menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Dalam suatu konferensi para ulama
di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam dari tanggl 30
September hingga 4 Oktober 1970, telah diajukan suatu saran untuk memajukan kesatuan
kaum muslim dalam kegiatan sosial mereka. Baru pada tahun 1974 disepakati bahwa
pembentukan majelis ulama semacam itu harus diprakarsai pada tingkat daerah dan
persetujuan ini tercapai sesudah adanya saran dari Presiden Soeharto sendiri.
Kemudian
suatu muktamar nasional ulama dilangsungkan dari tanggal 21 hingga 27 Juli
1975. Para peserta muktamar terdiri atas para wakil majelis-majelis ulama
daerah yang baru dibentuk, para wakil pengurus pusat sepuluh organisasi Islam
yang ada, sejumlah ulama bebas dan empat orang rohaniawan Islam ABRI. Pada
akhir muktamar dibuat suatu deklarasi yang ditandatangani oleh 53 peserta, yang
mengumumkan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia bertepatan pada
tanggal, 7 Rajab 1395 H, sebagai hasil
dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang
dari berbagai penjuru tanah air.
Ketua umum pertama yang terpilih adalah seorang penulis dan alim terkenal, Dr
Hamka.[3]
Dalam perjalanannya, selama dua puluh
lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat
Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat; memberikan nasihat
dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan
masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan
kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa
serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro dan penterjemah timbal balik
antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan
hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan
muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya
umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia
mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa
kali pergantian Ketua Umum, diantaranya:
1.
Prof. Dr. Hamka
2.
KH. Syukri
Ghozali
3.
KH. Hasan Basri
4.
Prof. KH. Ali
Yafie
5.
KH. M. Sahal
Maffudh
7.
KH. Ma’ruf Amin
B. Peran Departemen Agama dan MUI
·
Peran Departemen Agama
Departemen
Agama bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan agama dan
hal-hal lain yang bersentuhan dengan agama. Berfungsi untuk mewujudkan pembangunan
mental rohaniah yang harus mampu mengimbangi pembangunan fisik materiil. Terlebih meningkatkan mutu kehidupan mental rohani
bangsa. Jadi
yang menjadi tugas utama Departemen Agama adalah urusan agama, pendidikan
agama, penerangan agama, dan urusan haji dan
Departemen Agama harus siap menghadapi perkembangan zaman
yang semakin
hari makin meningkat dan meluas.[4]
·
Peran Majelis Ulama Indonesia
Selain
menjaga akidah umat Islam dan sikap waspada dari ancaman kristenisasi, MUI
bertugas untuk memberikan nasehat dan fatwa-fatwa kepada kaum muslim,
masyarakat maupun kepada pemerintah mengenai persoalan-persoalan khususnya yang
berkaitan dengan keagamaan dan umunya pada masalah yang dihadapi bangsa. MUI juga
diharapkan menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam, bertindak selaku
penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum muslim dalam
permusyawaratan antargolongan agama.[5]
Dalam khitah
pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI
yaitu:
1.
Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2.
Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai
pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4.
Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5.
Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Departemen Agama adalah sebuah lembaga Negara yang
didirikan pada
tanggal 3 Januari 1946 memiliki yang mana memiliki peran dan fungsi
pelayanan dan bimbingan di bidang agama. Departemen Agama bertanggung jawab
atas segala sesuatu yang berhubungan dengan agama dan hal-hal lain yang
bersentuhan dengan agama. Diantaranya: perkawinan,
peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji, dan pengajaran agama di sekolah-sekolah.
MUI
di dirikan pada tanggal
21 hingga 27 Juli 1975 dalam
muktamar yang ditandatangani oleh 53 peserta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para
ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. MUI sebagai wadah
musyawarah para ulama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan nasehat
dan fatwa-fatwa kepada umat
Islam dan pemerintah dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat. Menjaga akidah umat Islam dan waspada dari ancaman kristenisasi. MUI juga diharapkan bertindak menjadi penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum
muslim dalam permusyawaratan antargolongan agama.
[1] Hasbulloh
Mursyid, dkk. Amal Bakti Departemen Agama R.I. 3 Januari 1946-3 Januari
1987: Eksistensi dan Derap Langkahnya (Jakarta: Departemen Agama R. I.,
1987), hlm. 1-2.
[3] Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, 1875-1988, Jakarta:
Perpustakaan Nasional, 1993, hlm. 54-56.
[4] Hasbulloh
Mursyid, dkk. Amal Bakti Departemen Agama R.I. 3 Januari 1946-3 Januari
1987: Eksistensi dan Derap Langkahnya (Jakarta: Departemen Agama R. I.,
1987), hlm. 147-149.
[5]Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, 1875-1988, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional, 1993), hlm.63.