MAKALAH KEBIJAKAN POLITIK-KEAGAMAAN SULTAN AKBAR AGUNG

MAKALAH
KEBIJAKAN (POLITIK-AGAMA) SULTAN AKBAR AGUNG

                                                                       Disusun oleh:
Muhammad Ainur Ridlo (13120085)

2014



Bab I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Akbar meneruskan tumpuk pemerintahan yang diwariskan dari ayahnya, Humayun pada tahun 1556 M. pada saat itu usianya masih 14 tahun, kondisi usia dan mininnya pengalaman memerintah kekuasan unyuk sementara diserahkan kepada Bairam Khan sampai tahun 1561 M. Tiba saat Akbar memegang tumpuk kekuasaan ia menyadari kerajaan yang maih dalam tahap perkembangan membutuhkan kebijakan-kebijakan politik yang mampu mengkokohkan Mughal di India. 
Dalam struktur masyarakat yang sangat berbeda suku dan kepercayaan ini Akbar menjadikan dirinya sebagai raja yang melindungi dari bahaya, dan perbedaan menjamin kebebasan melakukan praktek-praktek agama, kesempatan menduduki posisi tanpa membedakan ras dan keyakinan. Dimuat dalam kebijakan yang fenomenal dalam upaya toleransi umat beragama yaitu pembaruan agama, Din-i-Ilahi. Yang akan dimuat dalam makalah ini.
B.     Rumusan Makalah
Dari latar belakang diatas, pemakalah merumuskan masalah menjadi :
a.      kebijakan politik sultan akbar agung
b.      Sejarah Keberagamaan Sultan Akbar
c.       Kebijakan Keagamaan Sultan Akbar





Bab II
Pembahasan
A.    Kebijakan Politik Sultan Akbar Agung
1.      Pokok-pokok kebijakan politik sultan akbar agung
Akbar meneruskan tumpuk pemerintahan yang diwariskan dari ayahnya, Humayun pada tahun 1556 M. pada saat itu usianya masih 14 tahun, kondisi usia dan mininnya pengalaman memerintah kekuasan unyuk sementara diserahkan kepada Bairam Khan sampai tahun 1561 M.
Pada masa-masa awal pemerintahan Akbar mengalami persoalan kerajaan yang rumit. Ancaman disintregasi dan upaya percobaan untuk menjatuhkannya dari kekuasaannya dari luar. Diantaranya berassal dari keponakan Sher Syah, Mahmud Adil Syah. Yang bersekongkol dengan musuh terkuat akbar, Hemu. Seorang panglima hindu yang ingin mengembalikan supremasi Hindu, dengan menyogok bangsawang Afghan untuk menyokongnya.[1] Hemu pun dapat menguasai Agra dan Delhi dari Tardi Beg, Gubernur Mughal.
Kabul dikuasai oleh saudara seayah Akbar secara merdeka, Kashmir juga merdeka dibawah pemerintahan muslim setempat. Bebas dari kontrol Delhi.
Satu persatu wilayah yang ingin memisahkan diri akhirnya dan melakukan pemberontakan  dapat disatukan kembali. Ketika semua pemberontakan dapat dipadamkan, Hemu tetap saja memberikan peelawan sendiri terhadap Akbar. Kemudian Hemu menuju Panipat untuk menyerang Mughal setelah menguasai Agra dan Delhi, dalam perjalanannya mendapat perlawanan yang sengit dari Bairam Khan. Di saat Hemu akan menuai kemenangan tiba-tiba matanya tertusuk anak panah selanjutnya ia ditangkap oleh Bairam Khan dan dihukum pancung. Upaya penggulingan Akbar pun gagal, bahkan kemudian Delhi dan Agra dapat direbut dan perluasan wilayah yang dilakukan berujung gemilang.
Kemudian Bairam Khan dan Akbar meluaskan wilayah dengan menaklukkan Punjab dari Sikandar Sur kemudian Gwalor, Ajmer dan Jaunpur, dari kekuatan pertahanan bangsa Afgan. Penaklukan tersebut ketika Bairam Khan memegang tumpuk kekuasaan. Akbar melihat kekuasaan Bairam terlalu besar dan menganut kekerasan serta kebiadaban terhadap mereka yang diperkirakan sebagai musuh.  Oleh karena itu Akbar ingin berkuasa penuh sebagai seorang raja yang bebas dari Bairam. Dalam upayanya mengambil kekuasaan penuh Abkar menyuruh Bairam ke Mekkah untuk naik haji. Dalam perjalanannya Bairam terbunuh di Gujarat pada 31 Januari 1561 M  oleh seorang Afghan yang membalaskan dendam karena Ayahnya terbunuh dalam peperangan melawan tentara Mughal dibawah komando Bairam Khan.  Maka Akbar memangku kekuasaan pada tahun 1562 secara penuh.[2]
Sultan Akbar berprinsip bahwa kekuatan suatu Negara berdasarkan jumlah pasukan yang dimiliki dan penerapan system administrasi. Akbar pun memutuskan untuk memulai kebijakan ekspansi wilayah secara Agresif. Dengan sasaran yang pertama adalah Baz Bahadur, Malwa akhirnya dapat ditaklukan pada 1562, kemudian merobohkan kekuatan benteng Chitor pada 1567.  Pada tahun 1573 M, Rajputana, Gujarat dan Bangla telah dikuasai. Dengan demikian pintu barat dan timur melalui laut telah di kuasai Sultan Akbar. Pada tahun 1586 M Kashmir ditaklukkan dan penaklukan Sind dan Orissa.
Pemberontakan-pemberontakan  yang terjadi dapat di padamkan. Bahaya datang saat Abdullah Uzbeg memberontak di Malwa. Sebab ia merupakan lawan terkuat Akbar, namun dapat dilumpuhkan pada 16 Juli 1567 M. dengan meninggalnya pemimpin Uzbeg pada tahun 1598 menambah aman bagi wilayah Akbar. Selanjutnya pada tahun 1599 Akbar menduduki Ahmadnagar namun gagal dalam menerapkan undang-undang disana. Tahun 1601 aneksasi Khandesh dan Akbar kembali ke Agra pada bulan Mei 1601. Menandakan berakhirnya karir Akbar sebagai penakluk.

2.      Aliansi Dengan Hindu Rajput
hubungan Akbar dengan suku Rajput sangatlah penting. Dimulai ketika Akbar melakukan perjalanan ke Ajmer untuk mengunjungi makam seorang tokoh sufi, ia bertemu dengan raja Bihar Mall, suku Rajput di wilayah Jaipur. Untuk menunjukkan kesetiaannya kepada sultan. Ia menawarkan puterinya untuk dinikahi oleh Sultan Akbar, penawaran tersebebut diterima oleh Akbar. Ia meyakini apa yang dilakukannya merupakan satu-satunya cara yang dapat menghapuskan ingatan tentang hubungan yang kurang baik antara penguasa Mughal dengan Hindu Rajput. Menarik simpati rakyat setempat dalam upaya mengproklamirkan dirinya sebagai pelindung dari bahaya, menjamin kebebasan melakukan praktek-praktek agama, kesempatan menduduki posisi tanpa membedakan ras dan keyakinan

3.      Sistem Administrasi
System pemerintahan Akbar adalah militeristik, pemerintah pusat dipegang oleh Raja. Pemerintah daerah dipegang oleh Sipah Salar atau kepala komandan, sedangkan sub daerah dipegang oleh Faudjar atau komandan. Jabatan-jabatan sipil juga memakai jenjang militer yang mewajibkan para pejabatnya mengikuti latihan militer.
Kesulatanan Akbar dibagi menjadi 12 provinsi (suba) yaitu (1) Agra, (2)Ahmadabad, (3)Ajmer, (4)Allahabad, (5)Bangla dan Orissa, (6)Bihar, (7)Delhi, (8)Kabul (termasuk Kashmir), (9)Lahore, (10)Malwa, (11)Multan (termasuk Sind), (12)Oudh. Ahmadnagar, Berar dan Khandesh menjadi provinsi berikutnya.  Setiap Provinsi di atur oleh sabadar, kotamadya diatur oleh seorang katval (pemerintah kota), yang diawasi oleh birokrasi dewan pengurus.
Meskipun elite pemerintahan secara resmi adalah warga Muslim, namun terdapat duapululuh persen  warga Hindu sebagai aristokrasi Mughal yang menjabatsebagai pembesar-pembesar militer, pejabat administrative, keuangan, perdagangan, dan pemilik tanah.

4.      Sulh-e-Kul
Untuk meciptakan kerukunan masyaarakat India yang sangat beragam suku dan keyakinan. Akbar menerapkan politik Sulh-e-Kul atau toleransi universal, yang memandang semua rakyat sama derajatnya. Sudah jelas bahwa Akbar berusaha untuk menyatukan semua rakyatnya yang memiliki perbedaan ras dan agama.[3]

B.     Keberagamaan Sultan Akbar
Sejarah keberagamaan Akbar sejak lahir sampai tahun 1575 M di kenal sebagai sosok penganut faham Sunni yang rajin dalam beribadah, giat membangun tempat peribadatan, mengunjungi makam orang-orang suci, terutama seorang sufi yang dimakamkan di Ajmer. Atas usulan tutonya berkebangsaan Persia,  Abd-al  Latif. Akbar rajin mendengarkan doktrin dari guru-guru ortodoksnya.
Ketulusandan semangat  dalam beragama diwujudkan dalam pengabdiannya kepada Khwaja Muinuddin Christi, seorang sufi besar aliran Chistiyah yang di makamkan di Ajmer sebagai objek penghormatannya. Hampir tiap tahun dikunjunginya.
Dalam kesungguhannya dalam keagamaan Akbar mendirikan Ibadat Khana di Fatehpur Sikri, untuk keperluan diskusi agama. Namun keadaan menjadi memburuk ketika tamu undangan berebut posisi tempat duduk. Kemudian lantas bertengkar tentang kecerdasan masing-masing. Saling memojokkan golongan  yang menuduh bahwa golongan lainya bodoh. Segera Ibadat Khana turun derajatnya menjadi pertikaian agama.
Pertikaian tersebut mencapai puncaknya ketika seorang brahmana mengambil material untuk pembangunan masjid secara paksa untuk pembangunan sebuah candi. Ketika qadhi mencegahnya, Brahman justru mengutuk Nabi Muhammad dan menunjukkan kebencian terhadap orang Islam dengan berbagai cara.
Dalam Ibadat Khana Akbar mnyerahkan masalah hukuman untuk Brahman kepada Syekh Abdul Nabi. Namun hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman mati. Keputusan itu dinilai tidak manusiawi dan di kritik oleh pejabat-pejabat istana dari golongan Hindu dan juga istri Akbar.
Persoalan-persoalan yang menimpa Akbar diungkapkannya kepada Syekh Mubarak, ayah Faizi dan Abu’l Fazl yang datang keistana untuk keperluan dagang. Syekh Mubarak yang memiliki pemikiran bebas menerangkan bahwa jika pertikaian pendapat antara ahli hukum maka kepada pemerintahan Islam mempunyai otoritas dan berhak memilih salah satu pendapat. Keputusan yang diambil oleh seorang raja harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadist, serta diutamakan untuk kemaslahatan umat. Namun Akbar menjadi serang yang autocrat dalam menjalankan kekuasaan yang tidak terbatas itu.[4]

C.    Kebijakan Keagamaan Sultan Akbar
Dalam autokrasinya disamping cendikiawan muslim, para pandit Hindu, Mobed Parsee, sadhus Jain  menghadiri perkumpulan di Ibadat Khana. Akbar selalu terbuka dan merima pendapat mereka. Komplikasi yang serius muncul ketika para Jesuit diudang menghadiri perkumpulan ini, tidak hanya menerangkan agamanya,juga mencela Islam dan Nabi Muhammad dengan bahasa yang tak terkontrol.
Dengan ikut sertanya orang nonmuslim kedalam ibadat Khan muncul pemberontakan di prrovinsi Jaunpur  1579 sebagai protes atas pembaruan agama yang diadakan oleh Akbar.
Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan (1582) maka Akbar mengumumkan secara formal kepercayaan Din-e-Ilahi. Menurut Badauni mengatakan pada tahun tersebut sudah tidak merasa ada halangan dari pihak ulama, maka Akbar mengumumkan suatu pembaruan yang luar biasa yang drancang sebagai alat politik: yaitu sidja atau sujud yang dilakukan ketika menghadap raja, sebab hal itu cocok bagi para raja, tapi istilahnya diganti dengan zaminbos.[5]
·         Pokok-Pokok Ajaran Din-i-Ilahi
-          Versi Abul Fazl
Para anggota Din-i-Ilahi dikala berjumpa harus mengatakan Allahu Akbar dan jawabnya ialah Jalla Jallaluhu, dengan motif untuk meningakatkan kepada manusia agar mereka memikirkan asal kejadiannnya, dan menjaga ketuhanan tetap segar, hidup dan selalu diingat.
Mengganti memnberi makanan ketika peringatan kematian seseorang dengan memperingati hari ulang tahun dan menyiapkan makanan baginya sesekah dan mempersiapkan bekal untuk perjalanan yang panjang.
Para anggota tidak boleh memakana daging, tidak boleh mendekati apa yang telah mereka sembelih. Menggunakan tempat bekas tukang daging, penangkapan ikan , dan penangkap burung.
Tidak diperbolehkan bagi anggota untuk bergaul dengan wanita hamil atau mandul, tidak juga dengan gadis yang belum akil baligh.
Demikian pokok-pokok ajaran Din-i-Ilahi yang diterangkan oleh Abul Fazl, akan tetapi Badauni menerangkan secara lain dan terperinci, seperti Akbar yang keluar dari Islam dan menyembah matahari, dan lain sebagainya.[6]





Bab III
Simpulan
            Begitu kuatnya militer yang dimiliki Akbar sehingga wilayahnya meliputi 12 provinsi yang dipimpinnya. Memegang pintu barat dan timur melalui laut. Yang mana sangat antusias membela dan mengembangkan agama Islam. Akan tetapi masa baik tidak berlangsung lama, Maulana Abdullah sebagai Makhdumul muluk dan Syekh Abdul Nabi sebaghai Sadr al-Sudur yang selalu bertengkar tentang kepandaian masing-masing. Kemudian Syekh Mubarak membantu dengan keluarnya Dokumen 1579, yang merupakan tonggak baru bagi sejarah iislam di India. Akbar sebagai penguasa tertinggi baik dalam bidang politik atau agama.
            Dokumen itu justru membuat Akbar menjadi autocrat yang kemudian kebijakan agama mucul untuk semua kalangan dalam pembaruan Agama, yaitu Din-i-Ilahi. Yang bertujuan untuk merealisasikan toleransi beragama. Namun pembaruan ini cenderung menguntungkan orang non muslim. Akibatnya muncul pemberontakan yang menentang pembaruan tersebut.






[1] Fitri Sari S, Skripsi: Din-i-Ilahi Kebijakan Politik-Keagamaan Sultan Akbar Agung, (Yogyakarata: Fak. Adab dan Ilmu Budaya, 2012) hlm. 38
[2] Ibid, hlm . 40
[3] Ibid, hlm. 46-51
                [4] Fitri Sari S., Skripsi: Din-i-Ilahi Kebijakan Politik-Keagamaan Sultan Akbar Agung, (Yogyakarata: Fak. Adab dan Ilmu Budaya, 2012) hlm. 56-58
                [5] Umar Assaudin S., Din-i-Ilahi Kontroversi Keberagamaan Sultan Akbar Agung, (Yogyakarata: ITTAQA Press, 2012) hlm. 66-68
[6] Ibid, hlm. 68-70

Related Posts:

0 Response to "MAKALAH KEBIJAKAN POLITIK-KEAGAMAAN SULTAN AKBAR AGUNG"

Posting Komentar