PENULISAN SEJARAH DI MESIR ABAD KE-19 (HISTORIOGRAFI ISLAM)


   PENULISAN SEJARAH DI MESIR ABAD KE-19
"Historiografi Islam"

 Disusun Oleh:
   Mohammad Ainur Ridlo
   Dina Nabila S 
    Ayu Hermawati 
----------------------------------------------


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Penulisan sejarah atau historiografi dalam dunia Islam telah melewati berbagai masa. Mulai dari historiografi Islam masa klasik 650-1250M, historiografi Islam masa pertengahan 1250-1800M, sampai kepada historiografi Islam masa modern (1800-sekarang). Masa historiografi Islam tersebut, memiliki ciri dan karakter tersendiri, khususnya pada makalah ini yang akan membahas masa historiografi Islam modern di Mesir pada penghujung abad 18. Di mana Mesir sudah memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan. Kebangkitan tersebut ditandai dengan munculnya Abdurrahman al-Jabarti sebagai penulis sejarah ulung di Mesir.
Penulisan sejarah Islam di modern ini termasuk salah satu yang urgent untuk kita telusuri lebih jauh, karena pada masa ini penulisan sejarah mengalami pertemuan antara budaya Mesir dan Prancis. Halm ini menjadi sesuatu yang unik untuk dibahas.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penulisan sejarah di Mesir pada abad ke-19?
2.      Bagaimana metode penulisan sejarah di Mesir abad ke-19?
3.      Bagaimana dampak dari penulisan sejarah di Mesir abad 19?










BAB II
PENULISAN SEJARAH DI MESIR ABAD 19
A.      Kondisi penulisan sejarah di Mesir abad ke-19
Menjelang akhir abad ke 18 menjadi tanda kebangkitan kebudayaan di Mesir secara spontanitas. Kebangkitan ini merupakan gerakan internal yang dimulai oleh sekelompok penulis-penulis Mesir yang muncul pada abad tersebut.[1] Dalam bidang sejarah tidak terlepas dari peran Abdurahman ibn Hasan al-Hanafi (biasa disebut al-Jabarti) yang menulis ‘Aja’ib Al-Atsar fi At-Tarajim wa Al-Akhbar (4 Jilid) yang fokus memuat peristiwa sejarah dan biografi kalangan ulama dan penguasa dinasti Mamluk. Al-jabarti dikenal kritis terhadap kebijakan Muhammad Ali dan mengungkap biografi bersikap independen dan netral dengan memanfaatkan sumber primer.[2]
Gerakan kebangkitan yang dipelopori oleh al-Jabarti terputus beberapa tahun ketika terjadi pendudukan Napoleon dari Prancis atas Mesir (1798 M-1802 M). Setelah Prancis meninggalkan Mesir, penguasa baru Mesir, Muhammad Ali Pasha bertekad memulai pembangunan Mesir dengan meniru Barat. Muhammad Ali Pasha pada waktu itu menggalakkan gerakan penterjemahan. Di awal paruh kedua abad ke-19, muncul dua kelompok yang menjadi pelopor kedua setelah al-Jabarti dalam kebangkitan penulisan sejarah. Yang pertama adalah Rifa’ah al-Thathawi yang memiliki latar belakang Islam di al-Azhar, kemudian menambah pengetahuan di lembaga pendidikan di Prancis dan sebagai penuntut ilmu di lembaga-lembaga bahasa yang didirikan Prancis. Kelompok kedua yaitu kelompok Ali Mubarak yang mempunyai latar belakang pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan tekhnik, astronomi dan arkeologi.[3]
Penulisan sejarah kedua kelompok tersebut menandakan adanya perpaduan budaya dengan kebudayaan Prancis. Terlihat dalam karya-karya mereka yang menggunakan referensi kitab-kitab al-Thabari, Ibn al-Hakam, al-Mas’udi, Ibn Khaldun, al-Maqriezi, al-Suyuthi dan lain-lain, disamping itu juga menggunakan referensi karya-karya Voltaire, Rousseau, Mountesquieu, dan Quantremere. Inilah yang menjadi ciri penulisan ahli-ahli sejarah Mesir abad ke-19. Dalam hal ini Rifa’ah menulis diawali dengan sejarah Mesir zaman purbakala sampai kepada zaman ia hidup. Sedangkan Ali Mubarak karya yang ditulis mengenai sejarah topografi Mesir.[4]

B.       Faktor-faktor kebangkitan penulisan sejarah di Mesir abad ke-19
Beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan penulisan sejarah di Mesir pada abad  ke-19 menurut Muin Umar, yaitu[5]:
a.       Pengaruh utama dalam hal ini adalah gerakan pembaruan menjelang akhir kekuasaan Ismail Pasha pada pertengahan abad ke-19.
b.      Sejak abad ke-19, ahli-ahli eropa melakukan aekeologi di Mesir. Hal itu memberi pengaruh yang besar bagi ahli-ahli Mesir untuk mempergunakan bahan-bahan hasil penelitian Arkeologi itu dalam penulisan sejarah pada abad ke-19.
c.       Keberhasilan Rafa’ah al-Thathawi menempatkan sejarah sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang mengakibatkan diajarkannya ilmu sejarah di sekolah-sekolah sampai tingkat menengah. Lulusannya kemudian dikirim ke Eropa untuk melanjutkan studinya dalam ilmu sejarah.
d.      Adanya percetakan yang ikut membantu perkembangan ilmu sejarah di Mesir pada abad ke-19, yakni Pada masa Muhammad Ali Pasya, tepatnya pada tahun 1822 M didirikan satu unit percetakan Bulaq.
e.       Munculnya penerbitan harian dan berkala, artikel-artikel sejarah banyak ditulis dalam penerbitan media massa itu.
f.        Rifa’ah dan Ali Mubarak melakukan editing naskah-naskah kuno untuk kemudian diterbitkan. Usaha ini sangat membantu rakyat Mesir untuk memperoleh pengetahuan warisan sejarah mereka dimasa silam.
g.      Berdirinya himpunan-himpunan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi perkembangan penulisan sejarah. Himpunan yang pertama adalah Institut Egyptian pada tahun 1798 M yang didirikan oleh Napoleon.
                 Berbeda dengan penulisan sejarah pada masa Islam Klasik dan Pertengahan yang sedikit sekali melakukan kritik, analisis, dan perbandingan, penulisan sejarah Mesir pada abad ke-19 dipengaruhi oleh penulisan metode ilmu pengetahuan baru dengan mengikuti buku-buku sejarah Eropa. Mereka mencoba mengkritik, menganalisis, membandingkan dan memberikan pandangan mereka tentang apa yang mereka tulis. Dalam hal ini, mereka juga sudah menggunakan ilmu-ilmu bantu sejarah seperti dokumen, numismatik, arkeologi, inskripsi, ekspolari, geografi dan lain-lain.
Menurut Umar Ahli-ahli sejarah tidak hanya tertumpu kepada sejarah mesir dan islam tetapi juga menyajikan masalah-masalah lain yang tidak begitu dikenal di dalam periode islam. ahli sejarah menyajikan berbagai ragam sejarah[6] seperti: Sejarah dunia, Sejarah negara-negara tetangga, Memoar pribadi, Sejarah umum mengenai Mesir, Sejarah topografi dan sejarah kota, Sejarah mesir abad ke-19 M di bawah kekuasaan dinasti muhammad ali, Biografi-biografi, Novel sejarah, dan Penulisan sejarah dalam bahasa asing.
Kemudian Badri Yatim menyatakan bahwa para penulis pada abad ini kebanyakan adalah ‘amatir’ yang memiliki latar belakang pendidikan yang bermacam-macam. Kecuali al-Jabarti yang mencurahkan hidupnya untuk menulis sejarah dan Rifa’ah yang mempunyai kemampuan dalam penulisan sejarah.[7] Baru pada Abad ke-20, beberapa mahasiswa tingkat graduate dikirim ke Eropa untuk mengambil spesialisasi bidang sejarah. Setelah itulah banyak muncul ahli-ahli sejarah yang profesional.
C.  Tokoh Penulis Sejarah
Dalam penulisan sejarah di Mesir pada abad 19 terbagi menjadi dua masa penulisan sejarah beserta tokoh penulis masing-masing,  yaitu :
1.      Penulisan Sejarah Masa Al-Jabarti
Abdurrahman ibn Hasan al Hanafi dikenal dengan sebutan Al Jabarti, lahir di Kairo tahun 1168 H/1754 M, dan wafat pada tahun 1825 M. Keluarganya berasal dari daerah Jabarat, di Ethiopia yang telah lama menetap di Mesir. Ia berasal dari keluarga ulama yang mengajar di pusat komunitas warga Jabarat di Kairo yang sekaligus juga dekat dengan penguasa dari Dinasti Mamluk-Utsmani yang berkuasa di Mesir saat itu.[8] Pendidikan formalnya dimulai di Madrasah as Sananiyah di Kairo. Selain belajar di lembaga formal, al Jabarti juga belajar kepada ayahnya serta ulama-ulama yang datang ke rumahnya. Setelah menyelesaikan pendidikan madrasah ia melanjutkan pendidikannya di Universitas al Azhar. Ia kemudian menjadi salah seorang ulama besar al Azhar seperti ayahnya.[9]
Arnold Toynbee mengatakan bahwa dia adalah ahli sejarah terbesar yang pernah muncul dalam sejarah umat manusia. Dikemukakannya alasan ini karena ia hidup pada saat-saat terakhir kekuasaan Mamluk, serangan Perancis dari Mesir, hingga tersingkirinya Muhammad Ali dari pemerintahan. Peristiwa-peristiwa ini diabadikannya dalam kitab Aja’ib al Atsar fi Tarajim wa al Akbar.[10] Besarnya perhatian al Jabarti terhadap sejarah dilatarbelakangi oleh kecintaan keluarganya terhadap dunia pengetahuan, terutama sejarah. Keilmuan ini kemudian diikuti oleh Ismail al Kasysyaf dan Hasan al-Aththar. Al Jabarti juga mengungkapkan pandangannya tentang penjajah Perancis. Dalam kitab Mazhhar al Taqdis bi Dzahab Daulah al Faransis ia mengatakan sangat mendukung daulah Utsmaniyah dan peran mereka dalam mengusir Perancis dari negeri Mesir. Baginya para penjajah itu negatif dan tidak ada segi positifnya.[11]
al-Jabarti mempunyai sahabat dekat yang menaruh perhatian pada sejarah adalah Ismail Kasysyaf. Ismail sendiri memulai dengan menimba berbagai ilmu pengetahuan dari berbagai ulama terkemuka dan juga menjalin hubungan baik dengan Syaikh al Arusi, al Allamah Sayyid Muhammad Murtadha al Zabidi, dan Syaikh Muhammad al Amir. Pada saat Perancis menduduki Mesir, Ismail mulai menjalin kontak dengan para tokoh dan intelektual Misi Perancis di Mesir. Kedekatan ini terlihat pada saat ia ditunjuk oleh Jendral Menou untuk menjadi sekretaris lembaga administrasi Misi Perancis, dan juga pemimpin redaksi Koran berbahasa Arab bernama ‘L Avertissment.[12] Pada saat bekerja di lembaga ini Ismail mencoba menulis sejarah Mesir dengan cara memanfaatkan berbagai arsip dan dokumen tempatnya bekerja. Namun, kelanjutan proyek ini tidak ditemukan.
Teman Ismail Kasysyaf yang juga menaruh perhatian di bidang sejarah adalah Hasan al Aththar. Ketertarikannya adalah membaca kitab-kitab sejarah dan geografi. Minatnya ini kemudian diteruskan kepada mahasiswa-mahasiswanya di al Azhar. Apa yang disampaikan oleh al Aththar kepada mahasiswanya ini ternyata memberikan pengaruh. Hal ini tampak dari beberapa mahasiswanya yang kemudian menjadi ahli sejarah, seperti Rifa’ah Rafi’ al Thahthawi, Muhammad Ayyad al Thahthawi, dan Muhammad Umar al Tunusi.[13]

2.      Penulisan Sejarah Pasca Al Jabarti
a.       Rifa’ah al Thahthawi
Al Thahthawi merupakan salah satu murid dari Hasan al Aththar. Ia lahir di Mesir pada tahun 1801 M dan wafat tahun 1873 M. Pada tahun 1826 M Al Thahthawi berangkat bersama sejumlah pelajar Mesir untuk belajar di Perancis. Sebelum ke Perancis, Al Thahthawi telah memiliki latar belakang pendidikan Islam yang didapatkannya di Al Azhar. Ketika berada di Perancis al Thahthawi memperdalam bahasa Perancis, melalui penguasaannya terhadap bahasa itu kemudian ia mulai membaca buku-buku politik, sosial, sastra, ilmu alam, dan strategi peperangan. Selama di Perancis ia juga mengamati kondisi sosial, sebab-sebab kebangkitan di Eropa, adat-istiadat penduduknya, dan metode pendidikannya.[14] Kisah perjalanannya ke Perancis dituangkan ke dalam karyanya yang berjudul Takhlis al Ibriz fi Talkhisi Baris.
Kembalinya ke Mesir ia ditunjuk menjadi penerjemah di sekolah kedokteran dan sekolah militer di Tharrah. Dalam bidang menerjemahkan ini al Thahthawi dibantu oleh mahasiswa-mahasiswanya. Al Thahthawi banyak menerjemahkan buku-buku sejarah, ia juga melibatkan mahasiswanya dalam memilih buku-buku sejarah untuk seminar-seminar kesusastraan di al Azhar. al Thahthawi pernah menulis buku sejarah ketika tinggal di Rusia, selain itu ia juga menuliskan dua  laporan perjalanannya ke Sudan, yaitu ke Darpur dan Wadday. Laporan perjalanan al Thahthawi ini menguraikan sejarah Sudan.[15]

b.      Ali Mubarok
Ali Mubarok adalah yang muncul ketika Ismail menjadi penguasa (1866-1879M) di Mesir. Ia berlatar belakang pendidikan dalam pendidikan tekni, astronomi, dan arkeologi. Seperti halnya Rifa’ah ia juga menggunakan sumber-sumber dari Eropa. Karya-karya sejarah yang ditulisnya mengenai sejarah topografi Mesir.
Para penulis sejarah di Mesir pada abad ke-19 mengikuti metode dari buku-buku sejarah Eropa yang mereka baca, pelajari, dan terjemahkan. Sebagai hasilnya, mereka meninggalkan metode analistik dan menguraikan kitab-kitab mereka dengan subjek, periode atau negeri yang masung-massingnya di dalam bab terpisah. Selain itu, mereka juga menggunakan ilmu-ilmu bantu sebagai dasar untuk memberikan interpretasi dan pengertian sejarah, seperti dokumen, nuministik, arkeologi, inkripsi, eksplorasi geografi dan sebagainya.
Ciri-ciri penulisan sejarah di Mesir pada abad ke-19 ini adalah:
1.      Menuliskan sejarah dalam bentuk memoir pribadi.
2.      Penyajian novel sejarah, yaitu penyajian peristiwa-peristiwa sejarah dengan menggunakan bahasa yang bersifat novel.
3.      Dipengarihu oleh gaya penulisan buku-buku Prancis.
4.      Para penulis sejarah yang menerjemah buku sejarah maupun menuliskan sejarah bukan berdasarkan latar belakang minat sejarah.
5.      Penulisan Sejarah dalam bahasa asing terutama dalam bahasa Prancis. Hal ini disebabkan oleh adanya lingua franca yang pada saat itu diungguli oleh bahasa Prancis dalam bidang sastra maupun politik.[16]
6.      Tidak melulu mengarah kepada sejarah perpolitikkan saja, tetapi juga menulis semua bidang sejarah, seperti menulis tentang aturan-aturan perpajakkan tanah dan mengenai berbagai macam sistem pendidikan.[17]

D.  Metode Penulisan Sejarah di Mesir Abad ke-19
Perkembangan penulisan sejarah di Mesir pada abad ini tidak terlepas dari kelompok Rifa’ah dan Ali Mubarak. Dalam penulisannya dipengaruh oleh literatur dan pengetahuan Prancis. Mereka sama-sama menggunakan referensi buku-buku sejarah yang ditulis pada masa klasik dan pertengahan Islam, disamping juga menggunakan  referensi-referensi Barat modern. Dari referensi-refernsi tersebut mereka memusatkan perhatian untuk menulis sejarah tanah air sendiri. Tulisan-tulisan tersebut semakin disempurnakan dengan bahan-bahan dari penelitian arkeologi dan sejarah.[18]
Berbeda dengan penulisan sejarah pada masa lalu, mereka banyak melakukan kritik, analisis, dan perbandingan, kemudian memberikan pandangan-pandangan mereka tentang apa yang mereka tulis. Dalam hal ini mereka juga sudah menggunakan ilmu-ilmu bantu sejarah seperti dokumen, numismatik, arkeologi, inskripsi, eksplorasi, geografi dan lain-lain. Sejumlah besar kitab ditulis  dan penelitian sejarah dilakukan secara intensif dan luas.[19]

E.  Dampak Perkembangan Penulisan Sejarah di Mesir
Dampak penulisan sejarah ini bukan hanya berdampak intern Mesir saja, akan tetapi di dalam dunia ilmu pengetahuan jelas bahwa penulisan sejarah ini berdampak positif. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut.
1.   Bagi masyarakat Mesir
a.       Membangkitkan keadaan sejarah yang mendorong orang-orang Mesir berminat kepada sejarah pada umumnya dan sejarah Mesir pada khususnya dalam aneka ragam masanya.
b.    Timbulnya pemahaman baru terhadap sejarah Mesir kuno dan terhadap peradaban Mesir sebagai suatu kebenaran yang berkelanjutan.
c.    Menjadi salah satu faktor penggerak kesadaran cinta tanah air bangsa Mesir.
d.    Menjadi media untuk menggambarkan kemegahan-kemegahan yang pernah dicapai oleh umat islam dan bangsa Mesir pada masa lalu.[20]

2.   Bagi perkembangan ilmu pengetahuan  
a.     Terdapat banyak jenis-jenis buku yang terbit antara lain sejarah umum, sejarah negara-negara tetangga, memoar pribadi, sejarah Mesir dari masa ke masa tertentu, sejarah tipografi dan sejarah kota, biografi, novel sejarah.
b.    Sejumlah besar kitab ditulis dan penelitian sejarah dilakukan secara intensif dan luas.
c.  Penulisan sejarah Islam ditulis dalam bahasa asing, terutama bahasa Perancis kemudian Inggris.


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Penulisan sejarah di Mesir pada mulanya dipelopori oleh al-Jabarti, setelah itu terhenti dan dilanjutkan oleh para sejarawan dan dua kelompok mahasiswa yaitu, kelompok Rifa’ah dan Ali Mubarok. Hal ini didukung oleh penguasa Mesir pada masa itu, yaitu Ismail. Selain itu perkembangan penulisan ini tidak terlepas dari pengaruh ekspansi dari Prancis yang membawa para ahli dan membangun percetakan. Akan tetapi, penulisan sejarah ini kemudian terhenti setelah masa al-Jabarti. Hal ini dikarenakan pada masa Muhammad Ali mereka lebih memilih menerjemahkan karya daripada menuliskan sejarah.
Kemudian penulisan sejarah kembali dimulai pada masa Ismail yang dipelopori oleh kelompok Rifa’ah dan Ali Mubarok. Kedua kelompok ini, kemudian memunculkan metode degan memakai sumber-sumber dari Eropa. Mereka melakukan kritik, analisis, dan perbandingan, kemudian memberi pandangn tentang apa yang mereka tulis. Dalam penulisan kitab merekan menggunakan ilmu-ilmu bantu sejarah seperti dokumen, numismatik, arkeologi, inskripsi, eksplorasi, geografi dan lain-lain. Dampak dari penulisan sejarah ini adalah timbulnya pemahaman baru untuk peradaban Mesir dan banyaknya buku-buku sejarah yang diterbitkan. Karya sejarah yang dihasilkan pada abad ini adalah Aja’ib al Atsar fi Tarajim wa al Akbar dari al-Jabarti dan Takhlis al Ibriz fi Talkhisi Baris dari al-Rifa’ah.


                [1] Muin Umar, Historiografi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 160.
                [2] Yusri Abdul Ghani, Historiografi Islam: dari Masa Klasik hingga Modern (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 56-58.
                [3] Muin Umar, Historiografi Islam, hlm. 162-163.
                [4] Muin Umar, Historiografi Islam, hlm. 163.
                [5] Ibid, hlm. 164-169.
                [6] Muin Umar, Historiografi Islam, hlm. 169-175.
                [7] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 224.
[8] Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern. Terj. Sudrajat ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 56-57.
[9] Badri Yatim, Historiografi Islam, hlm. 218.
[10] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. terj. Bahruddin Fannani (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 275.
[11] Ibid., hlm. 276.
[12] Abdullah, Historiografi Islam, hlm. 32.
[13] Muin Umar, Historiografi Islam,hlm.161-162.
[14] Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam., hlm. 280.
[15] Muin Umar, Historiografi Islam, hlm. 162.
[16] Muin Umar, Historiografi Islam,hlm. 172-175.
[17] Muin Umarr, Historiografi Islam,hlm. 180.
[18] Badri Yatim, Historiografi Islam, hlm. 222
[19] Ibid, hlm. 224
[20] Muin Umar, Historiografi Islam, hlm.180-183

Related Posts:

0 Response to "PENULISAN SEJARAH DI MESIR ABAD KE-19 (HISTORIOGRAFI ISLAM)"

Posting Komentar